Sabtu, 07 Desember 2024

TVRI Live: Profile, Sejarah dan Link Streaming TVRI

TVRI Live

Televisi Republik Indonesia, atau yang lebih akrab kita sebut TVRI, adalah jaringan televisi publik pertama yang ada di Indonesia. Bagi kamu yang belum tahu, TVRI ini berstatus sebagai Lembaga Penyiaran Publik, bareng Radio Republik Indonesia (RRI). Semua ini diatur dalam Undang-Undang No. 32/2002 tentang Penyiaran.

Nah, TVRI mulai mengudara pada 24 Agustus 1962. Hari itu bukan sekadar tanggal biasa; kita rayakan sebagai Hari Televisi Nasional. Bayangkan, dari sinilah semua berawal! TVRI sempat memonopoli siaran televisi di tanah air hingga tahun 1989. Itu saat yang sangat krusial, karena tahun itu juga menandai lahirnya televisi swasta pertama di Indonesia, yaitu RCTI.

Jadi, bisa dibilang TVRI adalah pionir dalam dunia penyiaran di Indonesia. Mereka membuka jalan bagi banyak stasiun televisi lain yang muncul setelahnya. Dengan semua sejarah dan perannya, TVRI memang layak mendapat tempat khusus di hati masyarakat.

TVRI: Siaran Nasional yang Menjangkau Seluruh Indonesia

Saat ini, TVRI hadir di seluruh pelosok Indonesia. Mereka mengoperasikan tiga saluran televisi nasional dan juga memiliki 35 stasiun televisi daerah. Dengan dukungan dari 361 stasiun transmisi, termasuk 129 stasiun transmisi digital, TVRI memastikan semua orang bisa menikmati siarannya.

Tapi tunggu, ada lebih banyak yang bisa kamu dapatkan! Selain menonton di televisi konvensional, kamu juga bisa menikmati siaran TVRI melalui streaming. Caranya? Gampang! Cukup kunjungi situs resmi mereka atau gunakan aplikasi TVRI Klik. Bahkan, kamu bisa menemukan siaran ini di berbagai layanan OTT lainnya. Jadi, di mana pun kamu berada, TVRI selalu siap menemani!

TVRI: Media Terpercaya di Indonesia

Menurut laporan dari Reuters Institute for the Study of Journalism dan Universitas Oxford pada tahun 2021, TVRI ternyata masuk dalam daftar media yang paling dipercaya oleh masyarakat Indonesia. Wow, angka kepercayaannya mencapai 66%!

Ini bukan sekadar angka, lho. Skor tinggi ini menunjukkan bahwa banyak orang merasa nyaman dan yakin dengan informasi yang disampaikan oleh TVRI. Di tengah banyaknya pilihan media saat ini, kepercayaan masyarakat terhadap TVRI menegaskan posisi mereka sebagai sumber informasi yang kredibel. Jadi, kalau kamu cari berita yang bisa diandalkan, TVRI adalah salah satu pilihan yang tepat!

Sejarah TVRI: Dari Ide ke Realita

1961-1962: Awal Mula dan Siaran Percobaan

Salah satu tokoh kunci di balik lahirnya TVRI adalah Maladi, seorang mantan penyiar RRI. Dia adalah orang yang pertama kali mengusulkan pendirian stasiun televisi di Indonesia pada tahun 1955. Ide ini muncul untuk membantu sosialisasi pemerintah, terutama menjelang pemilihan umum pertama yang akan berlangsung.

Meskipun Presiden Soekarno tertarik dengan gagasan Maladi, kabinet pada waktu itu menolak karena dianggap terlalu mahal. Namun, ketika Maladi menjabat sebagai Menteri Penerangan pada 1959, dia kembali mengusulkan ide tersebut. Kali ini, Soekarno sudah berkuasa di era Demokrasi Terpimpin. Maladi berpendapat, dengan Indonesia terpilih sebagai calon tuan rumah Asian Games keempat pada tahun 1962, televisi bisa jadi alat untuk memperkuat persatuan dan kesatuan nasional lewat siaran olahraga—setidaknya satu cabang olahraga per hari.

Usulan Maladi mulai mendapatkan perhatian. Pada tahun 1960, Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara mengeluarkan Tap MPRS No. II/MPRS/1960, yang mendorong pendirian stasiun televisi. Awalnya, stasiun ini direncanakan sebagai televisi pendidikan yang akan beroperasi di lingkungan universitas.

Dari sini, langkah awal TVRI mulai tampak, membawa harapan baru bagi dunia penyiaran di Indonesia.

Langkah Awal TVRI: Rencana Siaran Pertama

Akhirnya, rencana untuk menyelenggarakan siaran televisi pertama di Indonesia mulai terwujud. Pada tahun 1961, pemerintah mengambil langkah besar dengan memasukkan proyek media massa televisi ke dalam proyek pembangunan Asian Games IV. Ini diatur di bawah lembaga Komando Urusan Proyek Asian Games ke-IV (KUPAG).

Pada 25 Juli 1961, Menteri Penerangan mengeluarkan Surat Keputusan Menteri Penerangan Republik Indonesia (SK Menpen) No. 20/SK/M/1961. Keputusan ini menandai pembentukan Panitia Persiapan Televisi (P2TV). Lembaga ini dipimpin oleh R.M. Soetarto, yang juga merupakan kepala Direktorat Perfilman Negara. Dalam panitia ini, Soetarto dibantu oleh wakilnya, R.M. Soenarjo, dan tujuh anggota lainnya. Mereka bekerja sama dengan Departemen Penerangan untuk mempersiapkan siaran televisi di tanah air.

Untuk meningkatkan pemahaman tentang pertelevisian, Presiden kemudian mengirim Soetarto ke New York dan Atlanta, Amerika Serikat. Di sana, dia belajar lebih dalam tentang teknologi dan praktik siaran televisi. Langkah-langkah ini menjadi fondasi penting bagi kelahiran TVRI dan penyiaran di Indonesia.

Momen Bersejarah: Persiapan Siaran TVRI

Pada 23 Oktober 1961 pukul 09.30, saat Presiden Soekarno berada di Wina, Austria, dia mengirim teleks kepada Maladi untuk segera menyiapkan proyek televisi. Ada beberapa target yang harus dicapai:

  1. Membangun Studio: Studio akan dibangun di eks-AKPEN (Akademi Penerangan) di Senayan, yang kini menjadi kantor pusat LPP TVRI. Lokasi ini dipilih karena dekat dengan Gelanggang Olahraga Bung Karno, sehingga lebih praktis untuk siaran acara Asian Games. Sebelumnya, beberapa lokasi lain juga dipertimbangkan, seperti Gedung PFN di Jatinegara dan pemancar RRI di Kebayoran.

  2. Membangun Pemancar: Diperlukan dua pemancar, satu berkapasitas 100W dan satu lagi 10 kW, yang akan didirikan di kompleks TVRI Senayan. Menara pemancar direncanakan setinggi 80 meter. Awalnya, ada rencana untuk menempatkannya di atas Hotel Indonesia atau eks Gedung Perfini. Pemancar kedua selesai pada 22 Agustus 1962, siap beroperasi beberapa jam sebelum Asian Games IV dimulai.

  3. Mempersiapkan Software: Di sisi perangkat lunak, penyedia perangkat utama adalah NEC dari Jepang, setelah melalui seleksi ketat. Penyedia lain yang dipertimbangkan termasuk Siemens (Jerman Barat), RCA (AS), dan Marconi (Inggris). Selain NEC, NHK juga terlibat, memberikan pelatihan dan bantuan teknis kepada calon pegawai TVRI. Pelatihan ini sangat penting, mengingat banyak pegawai TVRI yang berasal dari RRI, PFN, atau mahasiswa ITB, dan belum berpengalaman dalam dunia pertelevisian.

Pada 17 Agustus 1962, TVRI resmi mengadakan siaran percobaan dengan merayakan HUT RI ke-17 dari halaman Istana Merdeka Jakarta. Siaran ini masih dalam format hitam-putih dan didukung oleh pemancar cadangan berkekuatan 100W. Setelah kurang dari setahun, kompleks siaran TVRI selesai dan diresmikan pada 23 Agustus 1962 oleh ketua P2TV. Ini adalah langkah besar dalam sejarah penyiaran Indonesia!

1962-1975: Awal Siaran dan Status Yayasan

Pada 24 Agustus 1962, TVRI mengudara untuk pertama kalinya dengan siaran langsung upacara pembukaan Asian Games IV dari Stadion Utama Gelora Bung Karno. Ini adalah momen bersejarah, karena dengan kehadiran TVRI, Indonesia menjadi salah satu negara di Asia yang memiliki siaran televisi. Negara-negara lain yang sudah lebih dulu memiliki siaran TV adalah Jepang, Filipina, Thailand, Tiongkok, dan Korea Selatan. Namun, perlu dicatat bahwa saat itu, jumlah pesawat televisi di Indonesia hanya sekitar 10.000-15.000 unit, dan siaran TVRI hanya bisa dinikmati oleh sekitar 2% dari total penduduk.

Karena pembentukannya berkaitan erat dengan Asian Games, TVRI juga dimasukkan ke dalam struktur Organizing Committee Asian Games 1962 sebagai "Seksi Biro Radio dan Televisi". Setelah Organizing Committee dibubarkan, status TVRI berubah lagi. Kini, TVRI berada di bawah Yayasan Bung Karno, yang mengelola kompleks olahraga di Senayan, melalui Keputusan Presiden No. 318/1962. Dengan ini, TVRI berada di bawah kendali langsung presiden.

Studio TVRI yang pertama, yang awalnya dimaksudkan sebagai studio sementara, akhirnya selesai pada 11 Oktober 1962. Ini menandai langkah penting dalam pengembangan stasiun televisi ini dan membawa TVRI semakin dekat dengan masyarakat Indonesia.

Evolusi Status TVRI: Debat dan Pembentukan Yayasan

Status TVRI sempat menjadi bahan perdebatan antara Menteri Pekerjaan Umum dan Menteri Penerangan mengenai apakah lembaga ini harus berada di bawah pengawasan mereka. Selain itu, ada juga tantangan dalam mengelola keuangan TVRI. Kedua masalah ini akhirnya teratasi pada 20 Oktober 1963, ketika dikeluarkan Keputusan Presiden No. 215/1963 yang membentuk Yayasan TVRI. Dengan keputusan ini, TVRI resmi menjadi institusi terpisah dari lembaga lain, dengan pimpinan umum dipegang oleh Presiden RI.

Yayasan ini beroperasi sebagai entitas tunggal yang diberikan hak oleh negara untuk menyelenggarakan siaran televisi. Dalam struktur organisasi, Yayasan TVRI dijalankan di bawah presiden yang dibantu oleh seorang direktur dan tiga direktur muda. Status TVRI pada waktu itu bisa dikatakan merupakan kombinasi dari yayasan dan lembaga negara. Mereka memiliki independensi dalam mencari dana, namun tetap bertanggung jawab kepada Departemen Penerangan dalam hal pemrograman.

Status sebagai yayasan murni ini berlangsung hingga tahun 1975, menandai periode penting dalam pengembangan dan pengelolaan TVRI sebagai lembaga penyiaran publik di Indonesia.

Tantangan dan Ketidakindependensian TVRI

Sifat TVRI yang merupakan yayasan yang dipimpin oleh presiden justru menimbulkan masalah serius. Lembaga penyiaran ini menjadi kurang independen dan lebih berorientasi pada kepentingan pemerintah, dampaknya terasa hingga akhir Orde Baru. Apalagi, saat itu tidak ada blueprint yang jelas untuk pengembangan TVRI ke depan.

Dalam Keputusan Presiden No. 215/1963, pasal 4 dan 5 menyebutkan bahwa TVRI berperan dalam "...pembangunan mental, khususnya masyarakat sosialis Indonesia." Ini sejalan dengan kebijakan Soekarno saat itu. Setelah Orde Baru mulai berkuasa, Keputusan Menteri Penerangan No. 34/1966 menegaskan bahwa TVRI harus menyesuaikan acaranya dengan program-program pemerintah, serta nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945. Dalam konteks ini, TVRI berfungsi sebagai alat untuk menciptakan kesatuan nasional dan menyosialisasikan program pembangunan pemerintah.

Meskipun demikian, ada juga ide yang muncul untuk mengarahkan TVRI agar lebih memenuhi keinginan pemirsa, terutama dalam hal hiburan, bukan sekadar menjadi alat pemerintah. Bahkan pada tahun 1972, Menteri Penerangan Boediardjo mengusulkan agar status TVRI diubah menjadi Perusahaan Umum (Perum) agar lebih "berkarakter demokratis." Sayangnya, rencana ini hilang setelah pergantian Menteri Penerangan di tahun berikutnya. Sebaliknya, independensi TVRI justru semakin dibatasi oleh kebijakan pemerintah yang terus menguat.

Pertumbuhan Karyawan dan Ekspansi TVRI

Pada tahun 1963, jumlah karyawan TVRI mencapai 100 orang. Di tahun yang sama, Divisi Pemberitaan didirikan dengan awalnya hanya terdiri dari 5 staf. Mereka bekerja keras, menyiarkan dua acara berita selama 14 jam sehari. Selain tenaga kerja lokal, TVRI juga mendapatkan bantuan dari 23 orang ahli dari Jepang, hasil kerja sama Colombo Plan. Mereka membantu dalam berbagai bidang, termasuk teknik, studio, pemancar, manajemen, film, produksi, dan audio.

Pendanaan TVRI berasal dari berbagai sumber. Sejak 1966, TVRI didanai melalui anggaran negara, ditambah dengan pendapatan dari iklan yang mulai diperkenalkan pada 1 Maret 1963. Di akhir tahun yang sama, TVRI juga mulai memungut iuran televisi dan mendapatkan dukungan dari sponsor.

Untuk memperluas jangkauan siarannya, sejak 1965, TVRI mulai membangun Stasiun Penyiaran Daerah. Stasiun pertama yang dibuka adalah TVRI Stasiun Yogyakarta, diikuti oleh Stasiun Medan pada tahun 1970, Ujung Pandang (1972), Surabaya (1978), Denpasar (1978), Manado (1978), Bandung (1987), dan Samarinda (1993). Banyak dari stasiun ini awalnya didirikan oleh lembaga lain, seperti di Yogyakarta oleh Deppen dan di Medan melalui kerja sama antara Pemerintah Provinsi Sumatera Utara dan Pertamina.

Namun, seiring dengan sentralisasi pemerintah di Orde Baru dan kebutuhan modal yang semakin besar, stasiun-stasiun daerah ini perlahan-lahan diintegrasikan ke dalam Stasiun Pusat Jakarta. Dengan demikian, pemrograman mereka diatur secara lebih terpusat, mengubah cara TVRI beroperasi dan berinteraksi dengan masyarakat di berbagai daerah.

1975-1998: Perubahan Status dan Penurunan TVRI

Pada tahun 1975, terjadi perubahan signifikan dalam struktur organisasi TVRI. Melalui SK Menpen No. 55B/Kep/Menpen/1975, yang kemudian diubah dengan SK Menpen No. 230A/Kep/Menpen/1984, TVRI diubah menjadi bagian dari Departemen Penerangan RI. Statusnya kini menjadi direktorat, sebelumnya dikenal sebagai Unit Pelaksana Teknis hingga tahun 1984. Ini berarti TVRI langsung bertanggung jawab kepada Direktur Jenderal Radio, Televisi dan Film (Dirjen RTF).

Perubahan ini mengisyaratkan bahwa TVRI memiliki status ganda: sebagai Yayasan Televisi RI dan juga sebagai Direktorat Televisi. Direktorat ini sebenarnya sudah dibentuk sejak 1966 melalui SK Menpen No. 107/1966. Dengan manajemen yang diterapkan adalah manajemen birokrasi, hal ini berpengaruh pada efisiensi operasional TVRI.

Selain itu, melalui Peraturan Pemerintah No. 37/1980, pemerintah Orde Baru secara resmi mengubah status seluruh karyawan TVRI menjadi Pegawai Negeri Sipil, menggantikan status sebelumnya sebagai karyawan Yayasan TVRI. Perubahan status ini bukan hanya memengaruhi struktur organisasi, tetapi juga berdampak pada budaya kerja dan manajemen di TVRI yang hingga kini masih berlanjut.

Dengan semua perubahan ini, meskipun TVRI berkembang dalam hal jangkauan dan pengembangan, manajemen yang kurang efisien dan status sebagai bagian dari birokrasi pemerintah membuat lembaga ini mengalami tantangan dalam mempertahankan independensinya dan mengoptimalkan kinerjanya.

Ekspansi dan Pengembangan TVRI

Mulai tahun 1977, Stasiun Produksi Keliling (SPK) dibentuk secara bertahap di beberapa ibu kota provinsi. Fungsi SPK ini adalah sebagai perwakilan atau koresponden TVRI di daerah-daerah. Pada tahun 1982, TVRI tercatat memiliki 10 SPK yang dilengkapi dengan armada Mobil Unit Produksi, ditambah dengan 9 stasiun, 193 menara pemancar, dan 30 stasiun relai. SPK ini kemudian diperluas hingga mencakup 12 kota, mulai dari Banda Aceh hingga Jayapura.

Seiring dengan ekspansi tersebut, jumlah karyawan TVRI juga meningkat pesat. Dari 898 orang pada tahun 1972, jumlah ini melonjak menjadi 6.000 orang pada tahun 1991. Untuk mendukung pengembangan karyawan, TVRI dan pemerintah mulai membentuk sarana pelatihan (diklat) sejak tahun 1969-1970, awalnya bekerja sama dengan tenaga ahli dari Jerman Barat. Selain itu, juga didirikan Multi Media Training Centre di Yogyakarta, yang mendapat bantuan dari Jepang.

Melalui langkah-langkah ini, TVRI berusaha meningkatkan kualitas sumber daya manusianya, sekaligus memperluas jangkauan siaran ke seluruh penjuru Indonesia. Ini adalah bagian dari upaya untuk menjadikan TVRI sebagai lembaga penyiaran yang lebih profesional dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat.

Penghapusan Iklan di TVRI

Pada tahun 1981, setelah bertahun-tahun mengandalkan pemasukan dari iklan, Presiden Soeharto membuat keputusan penting. Dalam pidatonya di DPR pada 5 Januari 1981, ia mengumumkan bahwa iklan di TVRI akan dihapuskan.

Ia menyatakan:

"Untuk lebih memusatkan siaran televisi bagi kelancaran pelaksanaan program-program pembangunan dan untuk menghindarkan akibat-akibat samping yang tidak menguntungkan bagi semangat pembangunan, maka saya telah memberi petunjuk agar 1 April 1981 nanti siaran iklan di TVRI ditiadakan."

Keputusan ini mencerminkan niat pemerintah untuk menjadikan TVRI sebagai alat yang lebih fokus dalam mendukung program-program pembangunan nasional, tanpa gangguan dari iklan. Namun, langkah ini juga menimbulkan tantangan baru dalam hal pendanaan bagi TVRI, yang sebelumnya sangat bergantung pada pemasukan dari iklan.

Kontroversi Penghapusan Iklan di TVRI

Kebijakan penghapusan iklan yang mulai berlaku pada 1 April 1981 melalui SK Menpen No. 30/Kep/Menpen/1981 menuai banyak kontroversi di masyarakat. Kebijakan ini berdampak signifikan pada kondisi keuangan TVRI, mengingat pada tahun 1975/1976, pendapatan dari iklan jauh lebih besar dibandingkan dengan anggaran dari negara atau iuran.

Ada beberapa faktor yang dikaitkan dengan larangan ini. Beberapa ahli mengaitkannya dengan protes dari kelompok Islam dan gerakan anti-konsumerisme. Selain itu, ada pendapat yang menyatakan bahwa kebijakan ini merupakan hasil persaingan internal dalam pemerintahan Orde Baru. Tak kalah penting, banyak yang berpendapat bahwa pemerintah ingin memperkuat kendalinya atas siaran TVRI, terutama menjelang Pemilu 1982 dan setelah adanya keuntungan dari boom minyak.

Pemerintah justifikasi larangan iklan ini dengan alasan untuk mencegah kecemburuan sosial dan efek negatif dari perilaku konsumtif, terutama di daerah-daerah yang dikhawatirkan akan berdampak pada pembangunan yang sedang dicanangkan.

Namun, untuk menyiasati kebutuhan anggaran yang terus membengkak, sejak pertengahan 1980-an, model "iklan terselubung" mulai muncul di layar TVRI, berupa acara-acara yang disponsori. Pada tahun 1987, pemerintah sempat berniat untuk mengizinkan kembali iklan di TVRI, tetapi rencana ini tidak terwujud hingga tahun 2002.

Dengan demikian, kebijakan ini tidak hanya menandai perubahan dalam strategi penyiaran, tetapi juga menciptakan tantangan baru bagi TVRI di era Orde Baru.

Ekspansi dan Perkembangan TVRI

Pada 1 Januari 1983, TVRI meluncurkan kanal baru yang disebut Programa 2 TVRI (sekarang dikenal sebagai TVRI Jakarta). Kanal ini awalnya hanya menyiarkan acara berita bahasa Inggris yang dinamakan English News Service, yang berlangsung selama setengah jam mulai pukul 18.30 WIB, di bawah tanggung jawab Divisi Pemberitaan. Meskipun awalnya hanya menjangkau pemirsa kecil, terutama ekspatriat, saluran ini mulai dikembangkan pada 1989 untuk menyesuaikan dengan selera masyarakat ibukota.

Perluasan siaran TVRI terus berlanjut, dan pada tahun 1991, TVRI telah dinikmati oleh 65% penduduk Indonesia. Saat itu, TVRI sudah memiliki 10 stasiun penyiaran daerah, 8 stasiun pemancar, 273 stasiun transmisi, 12 studio, serta 2 studio alam di Bogor dan Depok.

Pada tahun 1993, jumlah stasiun transmisi TVRI bertambah menjadi 350 lokasi, dan stasiun penyiarannya meningkat menjadi 12. Selain itu, ada juga 6 SPK dan 1 stasiun produksi di Balikpapan. Lima tahun kemudian, pada 1998, angka-angka ini terus meningkat, dengan 402 stasiun transmisi, 14 stasiun penyiaran, dan 8 stasiun produksi.

Dengan perkembangan ini, TVRI semakin mengukuhkan posisinya sebagai lembaga penyiaran utama di Indonesia, mampu menjangkau lebih banyak penonton dan memberikan variasi program yang lebih luas.

Monopoli TVRI dan Munculnya Televisi Swasta

Mulai tahun 1989, monopoli TVRI di televisi Indonesia mulai dihapus dengan munculnya RCTI sebagai televisi swasta pertama. Meskipun demikian, pemerintah pada saat itu tetap ingin mempertahankan status TVRI sebagai pemain utama di industri penyiaran nasional, meskipun ada pendatang baru dari sektor swasta antara 1989 hingga 1995.

Salah satu bentuk pengawasan pemerintah adalah larangan bagi televisi swasta untuk memproduksi acara berita mereka sendiri. Hanya TVRI yang diizinkan untuk membuat acara berita. Sebagai gantinya, televisi swasta diwajibkan untuk merelai sejumlah acara dari TVRI, termasuk siaran berita yang tayang tiga kali sehari—Berita Nasional, Dunia Dalam Berita, dan Berita Terakhir—pada pukul 19.00, 21.00 WIB, dan sebelum tutup siaran, serta acara kenegaraan seperti Proklamasi 17 Agustus dan Laporan Khusus.

Selain itu, pemerintah mewajibkan televisi swasta untuk membayar 12,5% dari pendapatannya kepada TVRI sebagai kompensasi karena TVRI tidak beriklan (awalnya tarif ini adalah 15% sebelum tahun 1990). Alasan pemerintah adalah bahwa landasan pembentukan TVRI sebagai penyedia siaran tunggal dalam Keputusan Presiden No. 215/1963 menempatkan TVRI dalam posisi pengendalian dan pengawasan terhadap televisi swasta.

Televisi swasta pada masa itu tidak dipandang sebagai pesaing, melainkan sebagai "pihak bawahan" atau "pelaksana yang ditunjuk", serta "mitra" atau "pelengkap" dari posisi dominan TVRI. Meskipun demikian, dalam praktiknya, sering kali terjadi ketidakpatuhan, seperti munculnya program sejenis berita di televisi swasta dan pelanggaran kewajiban pembayaran ke TVRI.

Konsep pengendalian ini baru akan berakhir setelah runtuhnya Orde Baru pada tahun 1998, membuka jalan bagi persaingan yang lebih sehat di industri penyiaran Indonesia.

Transformasi dan Upaya Profesionalisasi TVRI

Dengan kehadiran televisi swasta, muncul beberapa ide untuk mengubah status TVRI dari yayasan non-komersial menjadi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) berbentuk Persero atau Perum. Tujuannya adalah untuk meningkatkan profesionalitas TVRI dan memampukannya bersaing di industri penyiaran. Bahkan, ada rencana untuk melakukan transisi ini pada tahun 1995.

Dalam penyusunan UU Penyiaran pertama pada tahun 1997, ada usulan untuk memasukkan klausul yang mengizinkan TVRI beriklan "secara selektif". Meskipun usulan ini sempat dipertimbangkan oleh DPR, Departemen Penerangan, dan beberapa departemen lainnya, wacana tersebut akhirnya menghilang dan tidak terealisasi.

Dalam Undang-Undang Penyiaran No. 24/1997, status TVRI direncanakan berubah menjadi Lembaga Penyiaran Pemerintah. Namun, klausul ini juga tidak pernah berhasil diterapkan hingga undang-undang penggantinya disahkan.

Meskipun TVRI pada saat itu belum menerima iklan, upaya untuk meningkatkan pendapatan tetap dilakukan. Salah satunya adalah dengan menghadirkan layanan teleteks TVRI-Text, yang diluncurkan sebagai teleteks kedua di Indonesia setelah RCTI pada tahun 1994. TVRI menggandeng PT Pilar Kumalajaya untuk mewujudkan layanan tersebut, yang diperkirakan akan berlangsung selama 30 tahun dalam skema bagi hasil 15%-85%.

Dengan berbagai upaya ini, TVRI berusaha untuk beradaptasi dengan perubahan yang terjadi di industri penyiaran dan meningkatkan daya saingnya di tengah persaingan yang semakin ketat.

Peran TVRI sebagai Alat Komunikasi Pemerintah

Sebagai alat komunikasi pemerintah, tugas TVRI pada masa itu adalah menyampaikan informasi mengenai kebijakan pemerintah kepada rakyat, sekaligus menciptakan two-way traffic (lalu lintas dua arah) antara rakyat dan pemerintah, dengan syarat tidak mendiskreditkan usaha-usaha pemerintah. Semua kebijakan dan program pemerintah Orde Baru, yang bertujuan untuk "membangun bangsa dan negara Indonesia yang modern dengan masyarakat yang aman, adil, tertib, dan sejahtera", harus disampaikan melalui siaran TVRI dengan cepat, tepat, dan baik.

Pelaksanaan siaran TVRI difokuskan pada integrasi, agar TVRI dapat berfungsi sebagai well-integrated mass media (media massa yang terintegrasi dengan baik) dari pemerintah. Namun, pendekatan ini berujung pada layanan yang seadanya, di mana kekentalan pesan ideologis mendominasi konten siaran. TVRI sering kali dianggap "tidak memiliki independensi dalam kebijakan editorial", yang berdampak negatif pada semangat kerja, kreativitas, dan produktivitas karyawan.

Kondisi ini menciptakan suasana kerja yang kurang motivatif, di mana karyawan merasa tertekan untuk mengikuti arahan pemerintah tanpa kebebasan untuk berinovasi atau mengembangkan program yang lebih variatif. Akibatnya, kualitas siaran TVRI menurun, dan lembaga ini kehilangan daya tarik di mata pemirsa, terutama di tengah munculnya kompetisi dari televisi swasta yang lebih dinamis dan kreatif.

Penurunan Popularitas TVRI Pasca 1980-an

Setelah tahun 1980-an, TVRI menjadi kurang menarik di mata publik. Acara lokal yang disiarkan lebih banyak mencerminkan "suara pemerintah" ketimbang memberikan hiburan yang menarik, termasuk dalam program berita. Situasi ini diperparah oleh kurangnya pendanaan yang memadai di luar pemerintah, selain dari iuran, sehingga banyak acara yang dihasilkan terkesan seadanya. Di tengah kebutuhan untuk membangun transmisi di berbagai daerah, kualitas siaran menjadi semakin terbatas.

Contohnya, pada tahun 1987-1988, pengeluaran TVRI mencapai Rp 67,4 miliar, sementara pendapatannya hanya Rp 53 miliar (dari iuran Rp 43 miliar dan subsidi pemerintah Rp 10 miliar). Hal ini menandai awal penurunan TVRI, bahkan sebelum munculnya televisi swasta.

Dengan adanya open-sky policy setelah peluncuran Satelit Palapa pada 20 Agustus 1986, banyak penduduk yang lebih memilih menonton siaran asing melalui parabola. Di daerah perbatasan, masyarakat lebih memilih siaran luar negeri, sedangkan di perkotaan, kelas atas cenderung menyewa kaset-kaset VHS/Betamax film-film impor. Kehadiran televisi swasta semakin memperburuk kondisi TVRI; diperkirakan pada tahun 1990-an, penonton TVRI tidak lebih dari 6% dari total penonton siaran televisi di Indonesia.

Kondisi ini mencerminkan tantangan yang dihadapi TVRI dalam mempertahankan relevansinya di tengah persaingan yang semakin ketat dan perubahan preferensi masyarakat terhadap media penyiaran.

Restrukturisasi TVRI (1998-2006)

Setelah kejatuhan Orde Baru, periode ini memberikan peluang sekaligus tantangan besar bagi TVRI. Di satu sisi, TVRI berkesempatan melepaskan diri dari statusnya sebagai "agen/corong propaganda" pemerintah dan mulai bertransformasi menjadi public service broadcasting (penyiaran publik). Namun, di sisi lain, perubahan ini membawa ketidakpastian selama hampir tujuh tahun, terutama karena dampak krisis moneter yang mempengaruhi kondisi keuangan.

Salah satu masalah utama muncul setelah penghapusan Departemen Penerangan pada tahun 1999 di bawah Presiden Abdurrahman Wahid. Meskipun langkah ini ditujukan untuk menciptakan kebebasan pers, hal ini justru memicu ketidakpastian mengenai status TVRI, yang sebelumnya berada di bawah naungan departemen tersebut. Kehadiran Badan Informasi dan Komunikasi Nasional (BIKN) melalui Keputusan Presiden No. 153/1999 tidak memberikan kejelasan, karena TVRI tidak disebutkan dalam struktur baru ini.

Akibatnya, TVRI terpaksa bernaung di bawah Departemen Keuangan dan harus mengoordinasikan operasionalnya dengan BKN, Direktorat Radio, dan lembaga lainnya untuk menjaga kesinambungan kepegawaian dan anggaran. Pada 12 Desember 1999, TVRI memasuki periode transisi menjadi Perusahaan Jawatan (Perjan), meskipun siarannya tetap berjalan normal.

Status Perjan resmi melekat pada TVRI pada 7 Juni 2000 dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No. 36/2000. Peraturan ini menggantikan status yayasan yang telah ada sejak 1963. Dalam aturan tersebut, TVRI disesuaikan dengan prinsip-prinsip televisi publik yang independen, netral, mandiri, dan berorientasi pada kepentingan masyarakat.

Transformasi ini menjadi langkah awal bagi TVRI untuk membangun kembali reputasinya sebagai lembaga penyiaran yang lebih profesional dan responsif terhadap kebutuhan publik di Indonesia.

Perubahan Status TVRI Menjadi PT TVRI (Persero)

Status Perusahaan Jawatan (Perjan) dipilih untuk TVRI karena kondisi keuangan yang belum mandiri, masih banyak bergantung pada APBN, serta belum selesainya pengaturan mengenai aset-asetnya. Dengan perubahan status ini, diharapkan TVRI dapat mempersiapkan diri untuk bertransformasi menjadi Perseroan Terbatas (PT). Pemerintah juga merencanakan untuk menggaet investor strategis untuk membantu pembenahan TVRI.

Pada Oktober 2001, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah No. 64/2001 yang mengatur pembinaan Perjan TVRI di bawah Kantor Menteri Negara BUMN untuk urusan organisasi, dan Departemen Keuangan RI untuk urusan keuangan.

Setelah hampir dua tahun berstatus Perjan, pada 17 April 2002, diterbitkan Peraturan Pemerintah No. 9/2002 yang mengubah status TVRI menjadi PT TVRI (Persero) di bawah pengawasan Departemen Keuangan RI dan Kementerian Negara BUMN. Melalui status ini, pemerintah berharap direksi TVRI dapat melakukan pembenahan di berbagai bidang, termasuk manajemen, struktur organisasi, sumber daya manusia, dan keuangan.

Pembenahan yang dilakukan meliputi konsolidasi dan restrukturisasi di bidang pemasaran, pemrograman, serta khususnya terkait karyawan TVRI. Karyawan PT TVRI (Persero) diharapkan dapat ditata sesuai dengan kualifikasi dan keahlian yang jelas, dan jika diperlukan, pihak direksi dapat merekrut tenaga profesional dari luar.

Transformasi ini bertujuan untuk meningkatkan profesionalisme dan efisiensi TVRI, serta untuk memperkuat posisinya di industri penyiaran Indonesia di tengah persaingan yang semakin ketat.

Tantangan Pasca Perubahan Status TVRI Menjadi PT Persero

Meskipun setelah perubahan status menjadi PT TVRI (Persero) pada tahun 2002, TVRI diperbolehkan untuk menerima iklan kembali, hal ini tidak serta-merta memperbaiki kondisi lembaga tersebut. Pada periode 2002-2003, TVRI mengalami kekurangan dana mandiri, dan status persero yang mengharuskan perusahaan mencari pendapatan sendiri justru membuatnya semakin sulit untuk mendapatkan dana, karena acara-acara yang disiarkan kurang menarik minat pengiklan.

Anggaran yang diberikan pemerintah juga sangat minim. Dari pengajuan sebesar Rp 1,3 triliun pada tahun 2002, TVRI hanya menerima Rp 150 miliar atau sekitar 1/10 dari permohonan tersebut. Situasi ini diperburuk oleh konflik antara Direktur Utama saat itu, Sumita Tobing, dengan DPR terkait audit pendanaan dan permodalan TVRI. Selain itu, masih ada polemik mengenai perjanjian dengan televisi swasta yang mengharuskan mereka menyetorkan 12,5% dari pendapatan mereka ke TVRI, meskipun perjanjian ini telah diakhiri pada 19 Oktober 2001 dan hutang tersebut belum dibayar.

Langkah-langkah radikal yang diambil oleh Sumita, termasuk upaya untuk mengubah status quo orang-orang lama, dituduh mengganggu kestabilan internal TVRI. Selain itu, ada tudingan korupsi dan campur tangan politik yang memengaruhi perencanaan transisi dari Perjan ke PT. Masalah ini menyebabkan beberapa stasiun daerah TVRI, seperti yang ada di Medan, terpaksa menghentikan siarannya.

Awal transisi ke status PT juga terkesan setengah-hearted, karena selama setahun TVRI tidak memiliki anggaran dasar dan akta notaris. Barulah pada 15 April 2003, TVRI secara resmi diakui sebagai PT Persero. Dengan perubahan status yang mulai berlaku secara formal dan di bawah manajemen baru, TVRI berusaha untuk memperbaiki berbagai masalah yang dihadapinya.

Perubahan ini menandai langkah awal bagi TVRI untuk beradaptasi dengan tantangan baru dan meningkatkan profesionalisme serta efisiensinya dalam industri penyiaran yang semakin kompetitif.

Peningkatan Siaran TVRI dengan Kanal UHF

Seiring dengan perkembangan teknologi, TVRI mulai meningkatkan siarannya dengan menggunakan kanal UHF, setelah sebelumnya hanya bisa ditangkap di kanal VHF. Dua kota awal yang menjadi lokasi siaran menggunakan kanal UHF adalah Bandung dan Surabaya. Seiring waktu, siaran berbasis UHF ini diperluas ke beberapa kota lain, termasuk Medan, sejumlah kota di Kalimantan, Jawa Timur, serta Jakarta dan sekitarnya.

Siaran TVRI di kanal UHF untuk daerah Jakarta resmi dimulai pada 18 Mei 2002, setelah pemancar di Gunung Tela di Bogor selesai dibangun dengan kekuatan pancar 80 kW.

Selain itu, bertepatan dengan peringatan Hari Kebangkitan Nasional pada 20 Mei 2003, TVRI juga mengoperasikan kembali seluruh pemancar stasiun transmisinya, yang saat itu berjumlah 395 buah. Pemulihan ini dilakukan setelah sebelumnya ada beberapa pemancar yang rusak dan menghentikan operasionalnya.

Peningkatan ini menandai langkah penting bagi TVRI dalam memperluas jangkauan siaran dan meningkatkan kualitas layanan kepada publik, sejalan dengan perkembangan teknologi penyiaran yang semakin pesat.

Perubahan Status TVRI Menjadi Lembaga Penyiaran Publik

Melalui Undang-Undang No. 32/2002 tentang Penyiaran, TVRI ditetapkan sebagai Lembaga Penyiaran Publik yang terpisah dari kementerian mana pun. Dengan perubahan status ini, TVRI diberi masa transisi selama 3 tahun untuk belajar mandiri dan menggali dana dari berbagai sumber, termasuk kerja sama dengan pihak swasta dan sesama BUMN. Selama periode ini, fokus utama adalah meningkatkan profesionalisme karyawan dan memenuhi kriteria yang ditetapkan oleh undang-undang sebagai televisi publik dengan sasaran khalayak yang jelas.

Masa transisi ini diharapkan dapat mempersiapkan TVRI untuk beroperasi secara mandiri dan efisien. Undang-undang ini kemudian diperkuat dengan Peraturan Pemerintah No. 13/2005, yang menegaskan status TVRI sebagai lembaga penyiaran publik.

Klausul dalam kedua peraturan tersebut mengenai status TVRI resmi berlaku pada 24 Agustus 2006, bertepatan dengan hari ulang tahunnya yang ke-44. Dengan ini, TVRI secara resmi menyandang status sebagai Lembaga Penyiaran Publik hingga saat ini.

Perubahan status ini mengakhiri polemik tentang posisi PT TVRI (Persero) yang dianggap tidak sesuai dengan Undang-Undang Penyiaran, serta menyelesaikan permasalahan status TVRI yang telah berlangsung sejak tahun 1999. Dengan status baru ini, TVRI diharapkan dapat lebih fokus dalam memberikan layanan yang berkualitas kepada publik dan berkontribusi pada pembangunan media penyiaran di Indonesia.

Peluncuran Siaran Digital TVRI

Mengikuti rencana pemerintah untuk memperkenalkan televisi digital di Indonesia, TVRI meluncurkan siaran digitalnya pada 21 Desember 2010. Cakupan awal siaran digital ini mencakup Jakarta, Surabaya, dan Batam. Pada saat yang sama, TVRI juga meluncurkan dua saluran terestrial digital yang menjadi yang pertama di Indonesia, yaitu TVRI 3 (sekarang dikenal sebagai TVRI World) dan TVRI 4 (sekarang dikenal sebagai TVRI Sport).

Peluncuran ini dihadiri oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Menteri Komunikasi dan Informatika Tifatul Sembiring, menandai langkah penting bagi TVRI dalam beradaptasi dengan perkembangan teknologi penyiaran modern. Dengan hadirnya siaran digital, TVRI berkomitmen untuk menyediakan konten yang lebih berkualitas dan menjangkau lebih banyak pemirsa di seluruh Indonesia.

Tantangan dan Kontroversi TVRI Hingga Pertengahan 2010-an

Hingga pertengahan 2010-an, TVRI tampak seperti "hidup segan mati tak mau." Pergantian pimpinan yang sering terjadi, bahkan sampai dipecat oleh DPR, menunjukkan ketidakstabilan yang mengganggu kinerja lembaga ini. TVRI terus kalah pamor dibandingkan dengan televisi swasta, dan beberapa kontroversi yang terjadi, seperti penayangan acara Partai Demokrat pada tahun 2013, konflik internal, serta tuduhan korupsi, semakin memperburuk citranya.

Beberapa pihak berpendapat bahwa masalah ini disebabkan oleh kombinasi faktor internal dan eksternal. Dari sisi internal, TVRI memiliki jumlah PNS yang jauh lebih banyak dibandingkan televisi swasta, dan banyak di antaranya sudah berusia tidak muda lagi. Selain itu, anggaran untuk konsumsi terlihat tidak efisien, dan perangkat siaran yang digunakan sudah tua.

Di sisi lain, pemerintah juga cenderung tidak memberikan dukungan yang memadai kepada TVRI. Anggaran yang dialokasikan sangat kurang, di bawah Rp 1 triliun per tahun, yang jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan lembaga penyiaran internasional seperti BBC dan NHK. Pemerintah juga melarang TVRI untuk memberhentikan pejabat secara mandiri dan lebih memilih petinggi yang ditunjuk berdasarkan kepentingan politis.

Kondisi ini berdampak serius, sehingga TVRI menerima opini disclaimer dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada laporan keuangannya selama periode 2013-2017. Semua faktor ini menciptakan tantangan besar bagi TVRI untuk berfungsi secara efektif dan meningkatkan kualitas siarannya di tengah persaingan yang ketat dalam industri penyiaran.

Transformasi TVRI di Bawah Kepemimpinan Helmy Yahya

Pada tahun 2017, Helmy Yahya, yang dikenal sebagai "raja kuis," terpilih sebagai Direktur Utama TVRI, menggantikan Iskandar Achmad yang masa jabatannya telah habis. Bersamanya, Apni Jaya Putra (mantan Direktur Program di Kompas TV) diangkat menjadi Direktur Pemrograman. Di bawah kepemimpinan Helmy dan Apni, TVRI mulai melakukan perombakan besar-besaran terhadap acara dan siarannya, dengan tujuan untuk menarik perhatian pemirsa muda dan menciptakan citra yang lebih modern.

Salah satu langkah signifikan dalam upaya ini adalah perubahan logo TVRI, yang dilakukan untuk kedelapan kalinya pada 29 Maret 2019, bertepatan dengan acara Konser Musik: Menggapai Dunia di Auditorium TVRI Jakarta. Perubahan ini dirancang untuk menghapus citra "jadul" yang melekat pada TVRI.

Namun, pendekatan Helmy dan Apni yang dianggap "out of the box" dan berfokus pada peningkatan rating memicu kontroversi. Banyak pihak berpendapat bahwa sebagai lembaga penyiaran publik, TVRI seharusnya tidak terlalu memikirkan soal rating. Kontroversi ini berujung pada pemberhentian mereka.

Meskipun demikian, selama masa kepemimpinan mereka, TVRI berhasil mendapatkan opini "wajar tanpa pengecualian" dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), sebuah pencapaian yang dapat dipertahankan pada tahun-tahun berikutnya. Ini menunjukkan adanya perbaikan dalam pengelolaan dan transparansi keuangan, meskipun tantangan dan kontroversi tetap menghampiri lembaga penyiaran publik ini.

Peluncuran Siaran Televisi Digital di Wilayah Perbatasan

Pada Agustus 2019, TVRI bersama dua televisi swasta nasional, MetroTV dan Trans7, serta Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo), secara resmi meluncurkan siaran televisi digital di wilayah perbatasan Indonesia, khususnya di Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara.

Inisiatif ini bertujuan untuk memastikan masyarakat di seluruh wilayah Indonesia dapat menyaksikan acara televisi dengan kualitas gambar dan suara yang lebih baik. Selain itu, peluncuran ini juga merupakan langkah persiapan untuk migrasi dari siaran TV analog ke digital, yang merupakan bagian dari upaya pemerintah Indonesia dalam menghadapi ASO (Analog Switch Off) yang akan diberlakukan dalam waktu dekat.

Dengan adanya siaran digital, diharapkan akses informasi dan hiburan bagi masyarakat di daerah terpencil dan perbatasan dapat meningkat, serta mendukung pemerataan layanan penyiaran di seluruh Indonesia.

Link Streaming TVRI Live

    Official
    Vidio
    Indihome TV

Disqus Comments